Dasar Hukum Mediasi

Hukum Mediasi Ditulis Oleh : Lalu Guntur Payasan, M.H
Mediasi sebenarnya terdapat pada banyak peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a.   HIR dan Rbg
Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama melalui lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg). Dimana hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.[1]
b.   Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
c.   Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai berikut:
 “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Pasal 23 tersebut terdapat dua hal penting:[2]
1)  Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut BPSK.
2)  Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui badan pengadilan.
d.   Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam  pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.[3]  Namun UU ini tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian mediasi secara jelas dan tegas.
e.   Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat dalam dua pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang  No. 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM. Namun tidak ada aturan tegas semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM.
f.    Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3) dinyatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/ atau arbiter untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”. Dengan demikian Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu negosisasi, mediasi dan arbitrase.
g.   PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan terdapat dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
h.   Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan
Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan bank yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah.[4]
Apabila disinkronisasikan ke dunia kesehatan, sengketa antara nasabah dan bank memiliki kemiripan dengan sengketa antara pasien dengan dokter.



[1] Soetrisno, 2010, malpraktek medis dan mediasi, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, hal. 52
[2] Widjaja Gunawan, 2001, op.cit hal 73
[3] Widjaja Gunawan, 2001, Alternatif penyelesaian sengketa, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada hal. 90
[4] Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Pustaka Yustisia, Jakarta. Hal. 25