Hubungan Antara Dokter Dan Pasien

Hubungan Antara Dokter Dan Pasien Ditulis Oleh : Lalu Guntur Payasan, M.H
Hubungan antara pemberi jasa layanan kesehatan (dokter) dengan penerima jasa kesehatan (pasien) berawal dari hubungan vertikal yang bertolak pada hubungan paternalisme (father knows best). Hubungan vertikal tersebut adalah hubungan antara dokter dan pasien tidak lagi sederajat. Hubungan ini melahirkan aspek hukum inspaning verbintenis antara dua subjek hukum (dokter dan pasien), hubungan hukum ini tidak menjanjikan suatu kesembuhan / kematian, karena obyek dari hubungan hukum itu adalah berupaya secara maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan cermat sesuai dengan standar pelayanan medis berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit tersebut.[1]



Tanpa disadari keadaan seperti di atas membawa perubahan pola pikir sebelumnya hubungan layanan kesehatan yaitu hubungan vertikal menuju kearah pola hubungan horizontal, termasuk konsekuensinya, dimana kedudukan antar dokter dan pasien sama sederajat walau pun peranan dokter lebih penting dari pada pasien. Bila antara dua pihak telah disepakati untuk dilaksanakan langkah-langkah yang berupaya secara optimal untuk melakukan tindakan medis tertentu tetapi tidak tercapai karena dokter tidak cermat dalam prosedur yang ditempuh melalui proses komunikasi (informed consent), maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum berupa tuntutan ganti rugi. Hal tersebut dilegalkan oleh Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul (fisik / non fisik) karena kesalahan / kelalaian yang telah dilaksanakan oleh dokter.
Hubungan dokter pasien ini biasa disebut perjanjian terapeutik. Hubungan terapeutik dalam dunia kedokteran merupakan hubungan yang dilandasi oleh nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai kekeluargaan. Sofwan Dahlan mengatakan, bahwa hubungan demikian telah ada sejak zaman Priestly Medicine dan telah mapan. Hubungan yang mapan, ternyata merupakan konsep yang tidak jelas, sehingga tidak memiliki sarana sebagai upaya penyelesaian terhadap kasus yang muncul, termasuk keputusannya tidak atau kurang memiliki kekuatan mengikat para pihak (binding force).[2]
Upaya penyelesaian kasus atau konflik oleh lembaga profesi lebih mencerminkan gambaran keterpihakan pada lembaga daripada pasien. Kondisi seperti itu membuat para pihak yang merasa kurang diuntungkan, menempuh hukum sebagai upaya penyelesaian kasus yang terjadi.[3] Untuk itu perlu ada upaya alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga yang netral.


[1] Margaretha, 2010. Implementasi informed consent dalam pelayanan medik, Tesis Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Kesehatan UNTAG, Semarang, hal. 29
[2] Soponyono, Edi, 2008. Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter (memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadilan), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,  hal. 49