PELANGGARAN HAK CIPTA

Amerika Serikat memasukan Kanada, Indonesia, dan Algeria masuk dalam daftar hitam kejahatan hak cipta. Sedangkan dua negara, China dan Rusia, masih ada di urutan teratas daftar negara yang paling banyak terjadi pelanggaran atas hak cipta. "Dalam situasi ekonomi serba tak pasti ini , kami mendorong para patner perdagangan, termasuk tetangga terdekat kami, untuk lebih meningkatkan dan melindungi hak cipta," kata Pejabat Perdagangan AS (USTR), Ron Kirk, seperti dikutip laman berita Australia, The Age, Kamis 30 April 2009. Kanada untuk kali pertamanya masuk dalam daftar atas dasar kekhawatiran merebaknya pelanggaran hak cipta di sana. Sedangkan masuknya Indonesia dan Algeria dianggap merefleksikan makin mengkhawatirkannya penghargaan atas hak cipta di dua negara tersebut. Sebanyak 192 kasus pelanggaran hak intelektual terjadi dalam periode Juli-Desember 2008. 112 Kasus ditangani polisi dan 80 kasus ditangani kejaksaan.

Dari 112 kasus pelanggaran intelektual yang ditangani polisi, 106 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak cipta, tiga kasus di bidang merk, dan tiga kasus bidang hak desain industri.Adapun kasus di bidang hak kekayaan intelektual yang dilakukan Kejaksaan Agung sebanyak 80 kasus. Terdiri dari 61 kasus pelanggaran hak cipta, satu kasus hak paten, dua kasus desain industri, dan 15 kasus merk.

Pembajakan dan pelanggaran hak cipta tampaknya telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Terkadang masyarakat sendiri tidak menyadari, bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Bahkan, kegiatan pelanggaran hak cipta seperti tindakan legal yang setiap orang boleh melakukannya. Bahaya dari pelanggaran hak cipta adalah akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air.

Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar juga telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta.

Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas menyatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara pelanggar hak cipta terbesar ke empat di dunia."Kita menduduki tempat keempat sebagai pelanggar hak cipta di dunia, sehingga banyak negara kemudian menyorotinya," kata Ketua KY Busyro di Denpasar, Selasa, tanpa menyebutkan negara yang menduduki peringkat satu dan seterusnya.

Usai bertamu kepada Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar IGN Suparta SH, ia menyebutkan, sebagai negara terbesar keempat di bidang pelanggaran hak cipta, menunjukkan bahwa tidak sedikit karya orang lain yang telah begitu saja dijiplak atau dipalsukan di Indonesia."Ini sangat memprihatinkan," kata Busyro sambil menambahkan, untuk menekan kasus tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah penegakan hukum yang tidak pandang bulu bagi pelanggarnya.

"Siapa saja yang memang terbukti melanggar hak cipta, ya perlu diproses kemudian dijatuhi sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku," katanya. Menyinggung kasus penjualan lukisan karya Nyoman Gunarsa yang palsu yang kini dalam proses persidangan di PN Denpasar, Ketua KY mengharapkan majelis hakim yang menanganinya benar-benar dapat berlaku adil.

Ini artinya, majelis hakim harus tetap berpegang pada kebenaran dan ketentuan hukum yang berlaku, katanya. Dengan demikian, sanksi yang nantinya dijatuhkan kepada orang yang benar-benar bersalah, pada gilirannya akan dapat menjamin rasa keadilan semua pihak, ujar Busyro menandaskan.

SAVE Our Bali, Save Our Art”. ”Undang-Undang Hak Cipta Dilanggar, Seniman Terkapar”. Poster-poster bertuliskan kalimat itu diusung puluhan seniman saat mereka menggelar aksi simpatik untuk pelukis Bali, Nyoman Gunarsa. Hari itu, Selasa dua pekan silam, Pengadilan Negeri Denpasar menggelar sidang pertama kasus dugaan pelanggaran hak cipta terhadap lukisan Nyoman Gunarsa. Suasana meriah segera mewarnai halaman pengadilan.

Kasus ini berawal dari adanya sejumlah lukisan ”karya Gunarsa” yang dipajang di Cellini Gallery di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Masalahnya, sang pelukis menyatakan tak pernah membuat lukisan itu. Inilah yang menyeret sang pemilik galeri, Hendradinata, ke pengadilan. Jaksa mendakwa Sinyo—demikian pria 62 tahun ini biasa dipanggil—melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, undang-undang yang bersemangat melindungi hak kekayaan intelektual. Ancaman hukuman bagi pelanggar undang-undang ini maksimal tiga tahun penjara.

Kisah ditemukannya ”lukisan palsu” ini bermula pada 10 Januari 2000. Kala itu, istri Nyoman Gunarsa, Indrawati, melintas di depan Cellini Gallery. Selintas wanita ini melihat lukisan mirip karya suaminya. Benar. Petugas galeri menyebut itu lukisan Gunarsa. Pada 10 lukisan di situ, memang ada tanda tangan Gunarsa dan stiker mungil bertulisan ”karya Nyoman Gunarsa”. Tapi Indrawati yakin itu semua palsu.

Salah satunya, misalnya, yang menggambarkan tiga penari Bali sedang asyik bercengkerama. Dalam goresan Gunarsa asli, tiga penari ini seolah ”hidup”. Kecantikan penari bersinar oleh paduan warna yang menyala dan proporsional, khas Gunarsa. Lukisan yang tergantung di Cellini berbeda, kendati temanya sama. Indrawati melihat latar belakang lukisan itu juga dominan biru dan warnanya suram. Garis dan sapuannya kaku dan ragu-ragu. ”Istri saya tahu betul karena bertahun-tahun menemani saya melukis,” kata Gunarsa kepada Tempo.

Keesokan harinya, putra Gunarsa, Gde Artison Andarawata, mendatangi Cellini. Ia bermaksud memotret lukisan-lukisan itu, tapi batal karena dilarang Hendradinata. Artison bertanya dari mana lukisan itu didapat. ”Dijawab lukisan itu dibeli dari sejumlah peting-gi polisi di Bali,” kata Gunarsa.
Gunarsa melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Bali. Pada April 2000, bersama petugas Polda Bali, seniman ini mengecek lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan itu kemudian diperiksa Pusat Laboratorium Forensik Polda Bali. Setelah membandingkannya dengan lukisan asli Gunarsa, polisi menyatakan lukisan itu palsu, termasuk tanda tangan Gunarsa di kanvas.

Tapi, kala itu, polisi ternyata tidak memperkarakan Hendradinata. Yang dinyatakan bersalah I Made Suwitha. Kepada polisi, Suwitha mengaku dialah yang menjual lukisan Gunarsa ke Sinyo. ”Kenapa Sinyo ketika itu tak disentuh, saya tidak tahu,” kata Gunarsa. Gunarsa mengaku sebelumnya memang kenal dekat dengan Suwitha dan pernah memberikan empat lukisannya kepada lelaki tersebut. ”Tapi, dari lukisan yang saya berikan, tak ada satu pun yang dipa-jang di Cellini Gallery,” katanya.

Polisi lantas membidik Suwitha melanggar Pasal 380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang larangan memberi nama atau tanda palsu di atas hasil karya seni. Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal ini maksimal 2 tahun 6 bulan penjara. Pada 14 Maret 2002, hakim menyatakan Suwitha bersalah. Ia dihukum penjara 6 bulan dengan masa percobaan 10 bulan. Tapi, tak berselang lama, ganti Hendradinata yang melaporkan Indrawati karena telah melakukan perusakan dan pencemaran nama baik. Menurut Sinyo, ketika melihat-lihat lukisan miliknya, Indrawati sempat memukul dan merusak lukisan itu.

Tak menyerah, Gunarsa balik melaporkan Sinyo ke polisi. Laporan kepada polisi pada Juni 2004 itu manjur. Sinyo sempat datang ke rumah Gunarsa untuk minta maaf. Menurut Gunarsa, dia bersedia memberi maaf dengan syarat: Sinyo bersedia mengaku bersalah lantaran menjual lukisan palsu, meminta maaf di media massa, dan mencabut laporannya ke polisi soal Indrawati. ”Dia bersedia dan menandatangani kertas berisi perjanjian itu, tapi sampai saat ini tidak dilaksanakan,” katanya. Sinyo membenarkan cerita itu. Hanya, dia tak setuju dengan syarat yang disodorkan Gunarsa.

Alhasil, upaya damai pun kandas. Pengusutan jalan terus dan kasus ini pun, dua pekan lalu, akhirnya masuk ruang pengadilan. Jaksa Made Endrawan mendakwa Hendradinata melanggar Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta. ”Karena terdakwa mengumumkan itu lukisan hasil karya Gunarsa,” kata jaksa. Menurut Made Endrawan, pihaknya akan membawa sejumlah bukti yang menyatakan Hendradinata melakukan pemalsuan lukisan. ”Tapi memperbanyak lukisan itu sulit sekali pembuktiannya,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi Hendradinata lolos dari pasal ini, jaksa Endrawan melapisinya dengan dakwaan berikutnya: memamerkan dan menjual barang hasil pelanggaran hak cipta. ”Karena lukisan yang dijual atau dipamerkan itu adalah lukisan palsu atau hasil perbanyakan yang tidak sah,” katanya.

Pengacara Hendradinata, Gde Widiatmika, menilai dakwaan jaksa tak tepat. Menurut dia, pengertian pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, menurut Widiatmika, Gunarsa sendiri menyangkal keaslian lukisan itu. ”Itu berarti Gunarsa tidak memiliki hak cipta atas lukisan itu,” kata Widiatmika. Selain itu, kata Widiatmika lagi, kliennya mendapatkan lukisan tersebut dari Suwitha. Padahal Suwitha tak pernah didakwa dengan pemalsuan lukisan, tapi dengan pemalsuan identitas Gunarsa.

Sinyo sendiri tetap yakin lukisan di galerinya asli karya Nyoman Gunarsa. Sepuluh lukisan itu, kata dia, dibarternya dengan sedan Timor seharga Rp 60 juta dan lukisan karya pelukis Doho seharga Rp 70 juta. Menurut Sinyo, untuk kasus ini dia sebenarnya bisa menggugat Suwitha. ”Tapi bagaimana lagi? Wong dia sudah bangkrut,” katanya. Kepada Sinyo, Suwitha berkeras bahwa lukisan itu asli. ”Dia mengaku siap sumpah cor (sumpah di pura),” kata Sinyo.

Sinyo percaya kepada Suwitha karena melihat kedekatan pria itu dengan Gunarsa. ”Memang ada goresan yang kurang mantap, tapi saya pikir itu karena Gunarsa sempat sakit,” kata Sinyo. Pada 1998, Gunarsa memang sempat dirawat karena stroke. Sinyo, pemilik showroom mobil dan pengusaha properti, juga membantah punya koneksi kuat di Polda Bali sehingga saat kasus ini muncul pada tahun 2000 ia seperti tak terjamah.

Di mata Agus Sarjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang hak atas kekayaan intelektual, kasus Sinyo dan Gunarsa ini tidak masuk wilayah hak cipta. Prinsip hak cipta, kata Agus, adalah pada hak menggandakan. ”Ini pemalsuan,” kata Agus. ”Sebab, pelukisnya sendiri tak mengakui itu hasil ciptaannya.” Dia juga mempertanyakan jaksa yang menggunakan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1997. ”Padahal sudah ada yang baru, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.”

Namun jaksa Endrawan punya alasan kenapa memakai undang-undang yang terbit pada 1997 itu. Undang-undang lama dipakai karena peristiwanya terjadi sebelum undang-undang baru lahir. Endrawan yakin kasus yang dipegangnya itu masalah pelanggaran hak cipta. ”Ini kasus pertama soal hak cipta tentang lukisan,” ujarnya. Dia berharap, dari kasus ini, kelak publik lebih sadar dan para seniman akan terlindungi. ”Supaya hasil karya cipta mereka tak diperlakukan seenaknya,” kata Endrawan.

Peran pemerintah terhadap pelanggaran hak cipta secara umum yang terjadi di Indonesia
Dalam Undang-undang hak cipta 2002, Pasal 1 ayat 1 disebutkah bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturuan perundang-undangan yang berlaku. Hak eklusif disini mengandung pengertian bahwa tidak ada pihak lain yang boleh melakukan kegiatan pengumuman atau memperbanyak karya cipta tanpa seizin pencipta, apalagi kegiatan tersebut bersifat komersiil.

Dalam suatu karya cipta setidaknya melekat dua hak bagi pencipta atau pengarang. Hak tersebut adalah hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah yang dimiliki pencipta atau pengarang untuk menikmati keuntungan ekonomi yang diperoleh dari setiap eksploitasi karya ciptaaannya. Sedangkan hak moral merupakan hak untuk menjaga integritas karya ciptaannya dari setiap intervensi pihak lain yang dapat merusak kreativitas pencipta atau pengarang.

Dari definisi tersebut, berarti segala bentuk usaha dengan memanfaatkan hasil karya orang lain yang dapat mendatangkan keuntungan bagi sesorang tanpa memperoleh izin dari pencipta karya tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pelanggaran hak cipta. Selain itu usaha untuk meniru karya orang lain yang dapat merusak intergitas karya tersebut dapat juga dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta.

Negara kita masih ada di deretan negara pembajak, bahkan stigma publik internasional terhadap Indonesia sebagai negara pembajak masih melekat sampai sekarang walaupun tidak sepenuhnya benar. Pembajak itu hanya sebagian kecil oknum yang tidak bertanggung jawab," kata James F Sundah.

Pemerintah juga punya peran besar dalam upaya memerangi pembajakan dengan menggunakan perangkat hukum yang ada. Di negara lain, lanjutnya, pekerja seni dihargai dan dilindungi dengan hak cipta, sedangkan di Indonesia yang memiliki perangkat hukum ternyata perlindungan belum dilaksanakan sepenuhnya. 
"Vietnam dan beberapa negara Amerika Latin yang diundang waktu itu menyatakan kebingungan karena Indonesia memiliki perangkat hukum yang bagus tapi tidak bisa melindungi industri kreatif dari pembajakan. Di negara mereka saja belum ada Undang-undang HAKI," ujarnya menjelaskan. 

Dalam simposium yang diikuti 35 negara itu, James menyampaikan salah satu rekomendasinya agar stigma dunia internasional tentang pembajakan dihapuskan. "Karena sebenarnya yang membajak bukan orang Indonesia seluruhnya kan, pelakunya hanya segelintir oknum dan pemerintah tidak sanggup menanganinya," tuturnya.

Saat ini peran pemerintah masih kurang optimal dalam pemberantasan kasus pembajakan hak cipta, hal ini bisa kita lihat betapa banyaknya dijalan-jalan beredar kaset-kaset bajakan, ditoko-toko buku bahkan didominasi dengan buku bajakan dan masih banyak sekali kasus tentang pelanggaran yang terjadi di negeri yang menyangkut bajak-membajak hak cipta. Perangkat undang-undang sudah ada tetapi tampaknya pemerintah kita belum bisa mengoptimalkan perangkat hukum itu untuk digunakan menjadi senjata pemusnah kasus pembajakan

Tinjauan hukum terhadap kasus pemalsuan lukisan Nyoman Gunarsa.
Dalam kasus pemalsuan lukisan dari Nyoman Gunarsa sebetulnya perangkat hukumnya sudah sangat jelas sekali yaitu diatur dalam Undang-Undang RI No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta:
Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang 
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime.
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. 
g. Arsitektur
h. Peta
i. Seni batik 
j. Fotografi 
k. Sinematografi 
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Pasal 34
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka waktu perlindungan bagi Ciptaan yang dilindungi:
a. Selama 50 (lima puluh) tahun
b. Selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia. 

Pasal 56
(1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
(2) Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
(3) Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Pasal 67
Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif untuk:
a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Hak Cipta atau Hak Terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi.
b. Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti.
c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas Hak Cipta atau Hak Terkait, dan hak Pemohon tersebut memang sedang dilanggar. 

Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).(13)

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007, Indonesia Urutan ke-4 Pelanggar Hak Cipta di Dunia, www.antara.co.id.
Boediman,B.S., 2008, Indonesia Masih Dicap Negara Pembajak, andisboediman.blogspot.com.
Fauzi,R, 2009, Indonesia Masuk Daftar Hitam AS, nasional.vivanews.com.
Hakim,H.B.A., 2009, perpustakaan dan Pelanggaran hak cipta, www.heri_abi.staff.ugm.ac.id.
Manan,A., Hasan,R., 2007, Penari Palsu di Cellini, Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09.
Undang-Undang RI No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Sumber Gambar ;
j7god.files.wordpress.com/j7god.wordpress.com